Matanya mengawasi saya
sejak tadi, sejak saya mengetik dan menyeruput kopi. Dia terus bercerita, minta
didengarkan, melihat sikap saya yang terus mengutak-atik laptop, Diana jadi
kesal sendiri. Upss, saya mulai berani sebutkan namanya. Atas izin Diana, saya
boleh menulis namanya. Wanita ini memang selalu diluar dugaan saya. Wanita ini, dengan kerlingan matanya yang
tajam sudah menyoroti saya. Dia juga tertawa terbahak-bahak ketika kisahnya
tentang #CintaTapiBeda dilihat oleh puluhan ribu pasang mata. Aneh, mengapa dia
begitu senang ketika kisah nyatanya saya tulis di blog pribadi saya? Saya kira dia akan marah, malu, kemudian
membenci saya karena saya menulis posting-an
blog berdasarkan kisah nyatanya.
Diana malah
berterimakasih dengan mata berbinar, melihat komentar di bawah tulisan
tersebut. Ia terharu karena kisahnya menginspirasi banyak orang agar menghargai
dan menghormati perbedaan. Karena di luar sana, kadang kita tak tahu; bahwa
perbedaan mampu menyakitkan bagi seseorang. Begitu juga bagi Diana, begitu juga
bagi kekasihnya, Cahyo.
Mereka, seperti yang
saya tuliskan kemarin, adalah pasangan beda agama. Diana, teman saya, seorang
Khatolik sejati. Cahyo, kekasihnya, seorang Muslim. Berbeda dan berbenturan.
Tapi, apakah karena perbedaan mereka dilarang jatuh cinta? Iya. Pasti. Tentu
saja. Juga oleh kedua orangtua mereka.
Norma dan pandangan
masyarakat tak mau tahu apa itu cinta, perasaan, juga pertemuan yang terjadi
atas izin Tuhan. Diana dan Cahyo tak pernah bersungut-sungut pada Tuhan agar
mereka dipertemukan lalu jatuh cinta. Tapi, mereka benar-benar bertemu, merasa
nyaman, dan akhirnya bisa mendefinisikan arti cinta yang sesungguhnya; walaupun
segalanya jadi tak mudah. Jujur, kisah mereka adalah kisah yang indah, bukan
kisah-kisah manja, murahan, dan cinta-cintaan yang buang-buang waktu. Betapa
indahnya pertemuan antara manusia dengan manusia, tanpa memikirkan segala
atribut sosial yang mengekang kemanusiannya; agama.
Dalam kebahagiaan,
kadang terselip tangisan. Dalam doa panjang untuk Tuhan, kadang terselip
permintaan yang mungkin saja enggan Tuhan dengarkan. Tuhan yang mana yang
sedang mendengarkan doamu? Tuhan yang menciptakan hujan? Tuhan yang menciptakan
tulang rusuk untuk seorang pria? Tuhan yang menciptakan agama? Tuhan mencipta
agama? Lucu.
Agama. Agama. Agama.
Cinta. Cinta. Cinta. Tuhan. Hantu. Tuhan. Saya sedang sedikit emosional dan
terbawa oleh ceritanya. Ketika semua orang, yang tahu kisah Diana dan Cahyo
menganggap mereka pasangan “kutukan”. Begini, mereka hanya jatuh cinta, dan
memperjuangkan yang bagi mereka harus diperjuangkan; apa salah mereka hingga
banyak orang menilai mereka seperti sampah?
Apalagi, kedua
orangtua. Memang, orangtua selalu inginkan yang terbaik bagi anaknya, bagi
keturunannya, tapi terlalu menyakitkan bagi Diana dan Cahyo jika mereka harus
berpisah hanya karena berbeda. Apakah tak ada jalan lain untuk menyatukan?
Apakah orang-orang sekitar tak lagi peduli dengan perasaan dan perbedaan?
Memang, Diana dan Cahyo
berbeda, tapi... APA SALAHNYA? Tidak dapat dipungkiri memang, orangtua juga
ingin memiliki keluarga baru yang memiliki kesamaan dengan beliau-beliau.
Manusia selalu takut dengan perbedaan, mereka selalu nyaman dengan hal yang
terlihat sama di mata mereka. Padahal, berbeda belum tentu salah, dan punya
kesamaan belum tentu benar. Seharusnya perbedaan ada bukan untuk disalahkan,
dihakimi, lalu dianggap seakan-akan ada. Bukankah perbedaan harusnya jadi
“sarana” untuk mengenal dan saling melengkapi?
Cinta milik Diana dan
Cahyo memang terjadi begitu saja, tanpa sutradara, karena bukan drama. Diana
mencintai Tuhan, begitu juga dengan Cahyo; walaupun mereka beribadah di tempat
yang berbeda. Salahkah mereka?
Apakah perbedaan yang
Tuhan ciptakan hanya akan jadi penghalang?
Dalam
dingin yang menusuk-nusuk tulang
Saya
tak lagi paham
Apakah
cinta dan agama tak layak disatukan?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar